Sunday, January 22, 2017

CONTOH MAKALAH "ETIKA PROFESI AKUNTAN PUBLIK"


 Penulis Blog : Asep Supriyatna, S.E.


ETIKA PROFESI AKUNTAN PUBLIK




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perkembangan dunia usaha yang kompleks membuat kemajuan dibidang ekonomi diiringi dengan munculnya kecurangan oleh orang yang tak bertanggung jawab. Hal tersebut menuntut para auditor khususnya harus dapat memahami kecurangan tersebut. Kecurangan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu oleh orang- orang baik didalam maupun diluar organisasi dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan dan secara langsung maupun tidak langsung merugikan pihak lain. Seorang auditor dalam menilai suatu kecurangan tergantung pada pengetahuan dan pengalaman. Pengalaman memiliki faktor penting dalam penilaian kecurangan, dalam hal ini adalah kualitas auditnya.

Kualitas audit yang baik tidak menjamin dapat melindungi auditor dari kewajiban hukum yang merupakan konsekuensi dari kegagalan audit. Pengalaman dalam hal ini ialah auditor yang sudah lama mengusut kasus kecurangan dan tahu akan tindakan- tindakan yang akan dilakukan. Kualitas audit menjadi isu penting bagi profesi akuntan. Agar dapat memenuhi kualitas audit yang baik, maka auditor dalam menjalankan profesinya sebagai pemeriksa harus berpedoman pada kode etik akuntan, standar profesi, dan standar akuntansi keuangan yang berlaku.

Maraknya skandal keuangan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri memberikan dampak besar terhadap kepercayaan publik terhadap profesi akuntan publik. Seperti halnya kasus Enron dan Kantor Akuntan Publik Andersen yang kami kutip dari sebuah blog yang diposkan oleh Dr. Dedi Kusmayadi, SE., M.Si., Ak di 04:07. Kasus Enron di Amerika yang dinyatakan bangkrut oleh pengadilan Amerika telah menimbulkan gejolak baru bagi profesi akuntan baik diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Dampak dari kasus ini adaiah runtuhnya big firm akuntan dunia Arthur Andersen, setelah dinyatakan bersalah oleh pengadilan negara bagian Houston Texas karena keterlibatannya dalam kasus Enron dengan melakukan mark up keuangan (Auditor, 2002).

Hasil pekerjaan auditor dipengarugi Akuntabilitas auditor dalam menyelesaikan pekerjaan audit. Akuntabilitas merupakan hal penting yang harus dimiliki auditor. Setiap auditor harus mempertahankan integritas dan obyekivitas dalam melaksanakan tugasnya dengan jujur, tegas, sehingga dapat bertindak independen tanpa tekanan atau permintaan pihak tertentu.

Berdasarkan hal diatas, maka kami tertarik untuk melakukan diskusi mengenai Etika Profesi Akuntan Publik (Audit Eksternal).


1.2  Tujuan dan Manfaat penulisan
Adapun tujuan dan manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1     Tujuan penulisan
1.    Untuk menerapkan etika-etika yang semestinya dilakukan dalam berprofesi sehari-hari, secara khusus untuk pembelajaran etika profesi akuntan publik
2.    Untuk mengetahui dan mempelajari sampai sejauh mana hubungan antara penerapan aturan etika dengan peningkatan profesionalisme akuntan publik
1.2.2     Manfaat Penulisan
Kami berharap semoga penulisan makalah ini dapat memberikan manfaat yang dapat diimplementasikan yang diantaranya :
1.    Manfaat Akademisi
Sebagai referensi dan bahan informasi tambahan atau masukan sekaligus sebagai media pembelajaran bagi pembaca khususnya mahasiswa Politeknik LP3I Cimone.
2.    Manfaat Praktis
Bagi pihak internal (profesi akuntan publik) bisa dijadikan salah satu sumber bacaan yang dapat dipertimbangkan untuk megetahui perkembangan yang terjadi saat ini di dunia profesi akuntan publik, dan bagi pihak eksternal (umum) sebagai gambaran untuk bisa mengenali karakteristik dan cara beretika yang seharusnya dimiliki oleh seorang auditor

1.3  Metode Penulisan
1.    Studi kepustakaan
Pengumpulan data dilakukan dengan cara mencari, membaca dan mepelajari referensi buku-buku, situs internet dan catatan kuliah yang berhunbungan dengan obyek penulisan makalah sebagai subjek atau bahan dalam pembuatan makalah ini.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Profesi Akuntan Publik
Apa itu akuntan publik?
Akuntan Publik adalah akuntan yang memperoleh izin dari Mentri Keuangan untuk memberikan jasa akuntan publik di Indonesia.
Untuk dapat menjalankan profesinya sebagai akuntan publik di Indonesia, seorang akuntan harus lulus dalam ujian profesi yang dinamakan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) dan kepada lulusannya berhak memperoleh Certified Public Accountant of Indonesia (CPA Indonesia) dan sertifikat tersebut akan dikeluarkan oleh Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI).

Sekarang di Indonesia terdapat lebih dari 400 Kantor Akuntan Publik (KAP). Jumlah itu sangat kecil bibandingkan dengan di Amerika serikat yang memiliki lebih dari 45.000 KAP. Ukuran kantor akuntan pubik ini berkisar dari yang mempunyai satu orang staf saja sampai ribuan staf dan partner. Sebelum tahun 2003, terdapat lima KAP terbesar di Amerika Serikat yang lazim disebut the big five. Pada tahun 2002 terjadi skandal kuangan yang terkenal di Amerika Serikat yang disebut Eron Gate. Kasus ini melibatkan penyalahgunaan  profesi oleh KAP Arthur Andersen. Skandal tersebut meyebabkan dicabutnya izin KAP Arthur Andersen oleh otoritas Keuangan Amerika Serikat. Kasus tersebutpun membuat tercemarnya nama baik akuntan publik.

Terdapat sepuluh standar auditing – atau 10 Generally Auditing Standards (GAAS). Sejak disusun oleh American Institute of Certified Public Accountant (AIPCA) tahun 1947 yang kemudian diadaptasi oleh Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) di Indonesia sejak 1973 dan sekarang disebut Standar Auditing yang ditetepkan Ikatan Akuntansi Indonesia (SA-IAI). Standar-standar ini tidak cukup spesifik untuk dapat dipakai sebagai pedoman kerja oleh auditor, tetapi menggambarkan suatu kerangka sebagai landasan interpretasi oleh AIPCA atau IAI. Kesepuluh standar tersebut terbagi menjadi 3 standar pokok yang diantaranya adalah :
Stadar Umum
1.    Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis cukup sebagai auditor
2.    Dalam semua hal yang behubungan dengan penugasan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor
3.    Dalam melaksanakan audit dan penyusunan laporannya auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama
Standar Pekerjaan Lapangan
4.    Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya
5.    Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan lingkup pengujian yang harus dilakukan
6.    Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan dan konfirmasi sebagai dasar yang memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit
Standar Pelaporan
7.    Laporan audit harus menyatakan apakah laporan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum
8.    Laporan audit harus menunjukan keadaan yang di dalamnya, prinsip akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan keuangan periode berjalan  dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi yang diterapkan dalam periode sebelumnya
9.    Pengungkapan informative dalam laporan keuangan harus dipandang memadai kecuali dinyatakan lain dalam laporan audit
10. Laporan audit harus memuat suatu pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan

2.2  Etika Profesi Akuntan Publik
2.1.1     Kode Etik Profesi
Apa itu etika?
Menurut Firdaus (2013:42)
Etika secara umum didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral atau nilai. Masing-masing orang memiliki perangkat nilai, sekalipun tidak dapat diungkapkan secara eksplisit.
Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang profesional supaya tidak dapat merusak etika profesi dan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas dan merinci kembali norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma terebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional. Tujuan utama dari kode etik adalah memberi pelayanan khusus dalam masyarakat tanpa mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok.

2.1.2     Kode Etik Profesi Akuntan Publik
Mengingat profesi akuntan publik sangat penting perannya dalam dunia bisnis di Indonesia, maka akuntan publik harus selalu menjaga integritas dan profesionalisme melalui pelaksanaan standar dan kode etik profesi secara konsekuen dan konsisten.  Dalam setiap penugasan yang diberikan, akuntan publik harus selalu bersikap independen dan menggunakan kemahiran jabatannya secara profesional. Akuntan publik dan KAP agar menghindarkan diri dari tindakan tercela, seperti kolusi dengan klien atau menutupi terjadinya tindak kecurangan yang sangat merugikan berbagai pihak.

Setiap bidang profesi tentunya memiliki aturan-aturan khusus atau lebih dikenal dengan istilah “Kode Etik Profesi”. Dalam bidang akuntansi sendiri, salah satu profesi yang ada yaitu Akuntan Publik.
Prinsip etika akuntan atau kode etik akuntan itu sendiri meliputi tujuh butir pernyataan (IAI, 1998, dalam Ludigdo, 2007). Ketujuh butir pernyataan tersebut merupakan hal-hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang akuntan. Tujuh butir tersebut terdeskripsikan sebagai berikut :
1.    Tanggung jawab profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut, anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sama dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam mengatur dirinya sendiri.
2.    Kepentingan publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib. Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai tingkat profesionalitas yang tinggi
3.    Integritas
Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.
4.    Objektivitas
Obyektivitasnya adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
Anggota bekerja dalam berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka dalam berbagai situasi.
5.    Kompetensi dan Kehati-hatian
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Kompetensi menunjukkan terdapatnya pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten.
6.    Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.  Kewajiban kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa berakhir.
7.    Prilaku profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi. Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.

2.1.3     Contoh Pelanggaran Etika Profesi Akuntan Publik
Berikut kami mengambil contoh pelanggaran kode etik profesi akuntan publik yang cukup menyedot perhatian masyarakat dunia yang melibatkan salah satu perusahaan jasa konsultan tebesar di Amerika Serikat yang masuk dalam kategori  KAP Big Five pada tahun 2002.

Kasus KAP Andersen dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Andersen mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan, dengan memanipulasi laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron, dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa pada periode pelaporan keuangan yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $ 393 juta, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $ 644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Enron.

2.1.4     Kesimpulan Contoh Kasus Diatas
Bila dilihat dari contoh kasus yang terjadi pada KAP Andersen dan Enron adalah sebuah pelanggaran etika profesi akuntansi dan prinsip etika profesi, yang sudah menyalahi aturan dan norma-norma profesi akuntan publik.
1.    Berupa pelanggaran tanggung jawab profesi  yang salah satunya adalah memelihara kepercayaan masyarakat terhadap jasa profesional seorang akuntan publik.
2.    Pelanggaran prinsip kedua yaitu kepentingan publik, pada kasus KAP Andersen dan Enron tersebut kurang dipegang teguhnya kepercayaan yang diberikan masyarakat, dan tanggung jawab yang semata-mata hanya untuk kepentingan kliennya dan tidak menitikberatkan pada kepentingan public. Jadi seharusnya KAP Andersen dalam melakukan tugasnya sebagai akuntan harus melakukan tindakan berdasarkan etika profesi akuntansi dan prinsip etika profesi.
3.    Secara global terdapat dua alasan utama kenapa orang bertidak tidak beretika.
a.    Standar seseorang berdeda dari masyarakat secara keseluruhan
b.    Seseorang memutuskan untuk bertindak semaunya.
Dalam berbagai situasi kedua alasan tersebut bisa terjadi.
2.3  Etika Profesi Secara Garis Besar (Umum)
Etika profesi dapat diartikan sebagai suatu sikap menegakkan aturan-aturan yang disepakati demi kebaikan manusia, sesuai dengan batasan-batasan dalam melakukan pekerjaan berdasarkan skill atau keterampilan khusus.
Etika profesi dapat diterapkan di segala profesi yang ada dalam kehidupan manusia, oleh sebab itu cakupan etika profesi sangat luas. Segala jenis pekerjaan memiliki “aturan main” tersendiri.
bukan hanya akuntan publik  saja yang berkeharusan memiliki sikap yang bertanggung jawab, jujur, disiplin dan cara bertutur kata yang baik serta dapat dipercaya oleh orang lain. Karena pada dasarnya etika adalah cerminan dari jati diri setiap orang yang sudah dibentuk sejak usia dini. Oleh sebab itu secara garis besar etika profesi mencakup beberapa hal pokok yang berlaku umum untuk setiap profesi, hal-hal pokok tersebut yaitu:
1.    Tanggung Jawab terhadap pekerjaan, hasil, serta dampak pekerjaan tersebut
2.    Keadilan, berkaitan dengan hak-hak orang lain yang wajib dipenuhi oleh kita dalam    melakukansuatu profesi
3.    Otonomi, hal ini bermaksud untuk memberikan kewenangan kepada setiap orang sesuai dengan  tuntutannya dalam menjalani suatu profesi


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari laporan makalah diatas, dapat disimpulkan bahwa apapun profesi yang dijalani tidak lepas dari adanya aturan dan etika yang berlaku baik di profesi yang bersangkutan maupun secara garis besar (umum). Menyangkut dengan etika profesi yang kami diskusikan diatas, bahwasannya seorang akuntan publik harus benar-benar memahami standar akuntan publik dan mematuhi kode etik yang sudah diatur bedasarkan keputusan yang di ambil bersama oleh Institut Akunta Publik Indonesia (IAPI). Karena seperti yang kita ketahui setiap pelanggaran kode etik yang dilakukan khususnya untuk profesi akuntan publik terdapat sanksi-sanksi yang dapat menjeratnya baik secara perdana maupun perdata sesuai dengan peraturan hukum yang ada di Indonesia.

3.2  Saran
Dikutip dari kesimpulan diatas, maka saran kami adalah sebagai berikut:
1.  Bagi para pekerja profesional yang berprofesi sebagai akuntan publik baik yang sudah berpengalaman atau lebih khususnya lagi bagi baru akan menggeluti bidang tersebut hendaknya untuk menpersiapkan dan mempelajari segala sesuatunya yang berhubungan dengan aturan-aturan dan etika profesi akuntan publik  dengan seksama.
2.    Terlepas dari judul diatas, kita sebagai mahluk individu dan sosial tentunya kita harus selau menjaga sikap, etika dan mematuhi norma-norma yang ada didalam kehidupan sehari-hari.




PERPAJAKAN PPH PASAL 25

 Penulis Blog : Asep Supriyatna,S.E.

PERPAJAKAN II
PPH PASAL 25








Disusun oleh :

Asep Supriyatna   1611070114





Institut Keuangan Perbankan dan Informatika Asia Perbanas Jakarta
Tahun 2016



Pengantar

Sistem perpajakan kita menganut prinsip “Convinience to Pay” yang berati bahwa Wajib Pajak membayar pada saat yang paling menguntugkan dirinya. Salah satu cotohnya adalah membayar angsura pajak setiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka Wajib Pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban bajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada cash inflow untuk pembayaran negara. Pembayaran ansuran pajak dalam tahun berjalan dikenal degan pembayaran PPh Pasal 25. Angsuran pembayarn pajak ini nantinya akan diperhitungkan degan PPh terutang pada akhir tahun didalam SPT tahunan. Tetapi, bagaimanakah cara menetukan besarnya PPh pasal 25 yang harus dibayar setiap bulan? Pada kesempatan ini kami mencoba menguraikan cara umum meghitung PPh pasal 25, variasi-variasi penghitungan PPh pasal 25 serta keadaan - keadaan tertentu yang menyebabkan variasi tersebut.
Menteri Keuangan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/ PMK.03/ 2009 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan DalamTahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru,Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Namun dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut tidak memberikan contoh penghitungan angsuran Pajak Penghasilan.
Pajak Penghasilan pasal 25 (selanjutnya disebut angsuran PPh pasal 25) terhadap:
a. Wajib Pajak baru;
b. Wajib Pajak bank, badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.


Angsuran Pajak Penghasilan, PPh Pasal 25.
Pembahasan

Dalam memenentukan besarnya PPh pasal 25 setiap bulan, pajak mengasumsikan kondisi usaha Wajib Pajak di tahun depan minimal sama dengan kondisi usaha tahun sekarang. Dengan asumsi tersebut pajak menganggap besarnya PPh yang harus dibayar sendiri di tahun depan besarnya juga sama dengan jumlah PPh yang dibayar sendiri ditahun sekarang.

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (selanjutnya disebut Undang-Undang PPh) pada pasal 25 mengatur penghitungan angsuran Pajak Penghasilan. Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan. Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang PPh menjelaskan ketentuan besarnya angsuran PPh yaitu: “Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak."

Contoh:
Berdasarkan penjelasan pasal 25 ayat 1 :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun 2009 diketahui:
Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang sebesar Rp 50.000.000.
Data kredit pajak tahun 2009 adalah:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong pemberi Kerja ( PPh Pasal 21) Rp 15.000.000
b. Pajak Penghasilan yang dipungut oleh pihak lain (PPh Pasal 22)
 Rp 10.000.000
c. Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak lain (PPh Pasal 23) Rp 2.500.000
d. Kredit Pajak Penghasilan luar negeri (PPh Pasal 24) Rp 7.500.000
Penghitungan angsuran Pajak Penghasilan pasal 25 tahun 2010 adalah:
Pajak Penghasilan terutang                                    Rp       50.000.000
Kredit Pajak:
a. PPh pasal 21                    Rp       15.000.000
b. PPh pasal 22                    Rp       10.000.000
c. PPh pasal 23                    Rp 
        2.500.000
d. PPh Pasal 24                   Rp 
        7.500.000 (+)
Jumlah Kredit Pajak                                                Rp       35.000.000 
(-)
Pajak Penghasilan yang harus dibayar                  Rp       
 15.000.000
Besarnya angsuran PPh 25 yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010 adalah: Rp. 15.000.000 / 12 = Rp. 1.250.000

Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk bulan bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahuanan Pajak Penghasilan disampaikan sebelum batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sama dengan besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
Selanjutnya masih terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:

1.                 Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak (Pasal 25 ayat 4 Undang-Undang PPh).
2.                Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan
f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak (Pasal 25 ayat 6 Undang-Undang PPh).
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 selain yang telah diatur dan diberi contoh oleh Undang-Undang PPh pada pasal 25 ayat (1), pasal 25 ayat (4), dan pasal 25 ayat (6) juga memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi:
a. Wajib Pajak baru;
b. Wajib Pajak bank , badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus membuat laporan keuangan berkala; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran usaha (pasal 25 ayat7).


Berdasarkan wewenang tersebut Menteri Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/ PMK.03/ 2009 (selanjutnya disebut PMK 208/PMK.03/2009) yang menetapkan penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh :
a. Wajib Pajak baru
b. Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa Dan Wajib Pajak Lainnya Yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala,
c. Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.

Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu. Namun ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar penghitungan besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan usaha perusahaan.

1.    Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak Baru

a.    Ketentuan Undang-Undang Pajak Penghasilan dan Peraturan Menteri Keuangan
   Ketentuan Wajib Pajak baru diatur pada penjelasan pasal 25 ayat (7) huruf a Undang-Undang PPh , yaitu Wajib Pajak yang mulai menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan. Ketentuan Wajib Pajak baru juga diatur pada pasal 1 angka 1 PMK 208/PMK.03/2009.
    Wajib Pajak baru menurut Peraturan Menteri Keuangan ini adalah Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru ini diatur pada pasal 2 PMK 208/PMK.03/2009 yaitu:
1)  Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak baru adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan neto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
2)    Penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a.    Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyelenggarakan pembukuan dan dari pembukuannya dapat dihitung              besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkanpembukuannya;
b. Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya       menyelenggarakan pencatatan dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atau menyelenggarakan pembukuan tetapi dari pembukuannya tidak dapat dihitung besarnya penghasilan neto setiap bulan, penghasilan neto fiskal dihitung berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto atas peredaran atau penerimaan bruto.

3)    Untuk Wajib Pajak orang pribadi baru, jumlah penghasilan neto fiskal yang
di setahunkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi terlebih dahulu dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
4)    Dalam hal Wajib Pajak baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Wajib
Pajak badan yang mempunyai kewajiban membuat laporan berkala,             besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas proyeksi laba-rugi fiskal pada laporan berkala pertama yang disetahunkan, dibagi 12 .

b.  Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 dan Peraturan Menteri Keuangan
Sehubungan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PP 46 tahun 2013) dan ditindak dilanjuti dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 107/PMK.011/2013 tentang Tata Cara Penghitungan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (selanjutnya disebut PMK 107/PMK.011/2013) dijelaskan batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final. Batasan Wajib Pajak yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final diatur pada Pasal 2 PMK No.107/PMK.011/2013, yaitu:
1)  Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki      peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
2) Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada            ayat (1) adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.    Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
3) Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat     (2huruf b meliputi:
a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara,    akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris;
b.    Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
c.    olahragawan;
d.    penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
e.    Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
f.     Agen iklan;
g.    Pengawas atau pengelola proyek;
h.    Perantara;
i.      Petugas penjaja barang dagangan;
j.      Agen asuransi; dan
k.   Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing) atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
4)    Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:
a.    Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik   yang menetap maupun tidak menetap; dan
b.    Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
5)    Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah:
a.    Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b.  Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Pengertian peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dinyatakan pada pasal 3 PMK No. 107/PMK.11/2013, yaitu:

(1) Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.

(2) Peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari:
a. jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3);
b. penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri;
c. usaha yang atas penghasilannya telah dikenai Pajak Penghasilan yang   bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri; dan
d. penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak.

(3) Dalam hal peredaran bruto dari usaha pada Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meliputi jangka waktu 12 (dua belas) bulan, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun Pajak bersangkutan yang disetahunkan.

(4) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar pada tahun pajak 2013 sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang disetahunkan.

(5) Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri ini, pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.

Contoh Kasus WP Badan Baru:
1) PT Andalan yang bergerak di bidang usaha industri pengolahan gula didirikan pada bulan Agustus 2013 dan pada tahun yang sama mendaftarkan diri sebagai Wajib Pajak badan di KPP Z.
PT Andalan menggunakan tahun buku Januari-Desember. Sampai dengan bulan Oktober 2014 PT Andalan masih terus melakukan kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan pabrik dan instalasi mesin-mesin industri dan belum melakukan kegiatan operasi secara komersial. Pada tanggal 1 November 2014 PT Andalan mulai melakukan kegiatan operasi secara komersial berupa produksi gula dalam kemasan. Jika laporan laba rugi PT Andalan pada bulan November 2014 menyatakan peredaran bruto Rp500.000.000 dan biaya-biaya fiskal Rp 400.000.000
a. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus 2013 sampai dengan        Oktober 2014?
b. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014?
Jawaban:
a. Masa Agustus 2013 sampai dengan Oktober 2014, PT Andalan belum mempunyai kewajiban membayar angsuran PPh pasal 25 karena belum beroperasi secara komersial sehingga belum mempunyai penghasilan dan Pajak Penghasilan terutang nihil (Undang –Undang PPh pasal 25).
b. Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 diatur sbb:
Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2), pasal 2 ayat (5), serta pasal 7 PMK 107/PMK.011/2013 maka terhadap PT Andalan dikenai Pajak Penghasilan berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh sampai dengan jangka waktu 1 (satu) tahun sejak beroperasi secara komersial.
Peraturan yang terkait dengan tarif umum Undang-Undang PPh yaitu Undang-Undang PPh pasal 17, pasal 25, dan pasal 31E; PMK 208/PMK.03/2009 pasal 2 ayat (1) dan pasal 2 ayat (2).
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 (saat mulai beroperasi secara komersial) berdasarkan penghasilan neto sebulan kemudian disetahunkan.
Peredaran bruto                                             Rp       500.000.000
Biaya-biaya fiskal                                           Rp       400.000.000
Penghasilan Neto Fiskal sebulan                  Rp       100.000.000
Penghasilan Neto Fiskal setahun                  Rp    1.200.000.000
Kompensasi Kerugian                                    Rp 
                 -            
Penghasilan Kena Pajak                                Rp    1.200.000.000

Peredaran Bruto setahun adalah:
 12 x Rp. Rp 500.000.000 = Rp 6.000.000.000
     Karena jumlah peredaran bruto masih dibawah Rp50.000.000.000 setahun maka terhadap PT Andalan mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.
     Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas adalah:
Rp 4.800.000.000
 x Rp 1.200.000.000 = Rp 960.000.000
Rp 6.000.000.000
Pajak Penghasilan terutang: 50% x 25% x Rp 960.000.000 = Rp 120.000.000
     Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Rp1.200.000.000 – Rp960.000.000 = Rp 240.000.000
Pajak Penghasilan terutang: 25% x Rp 240.000.000 = Rp 60.000.000

     Jumlah Pajak Penghasilan terutang (fasilitas)                 Rp 120.000.000            Jumlah Pajak Penghaslian tertutang (non fasilitas)         Rp   60.000.000 (+)
     Total Pajak Penghasilan yang terutang                             Rp 180.000.000
     Angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014: Rp180.000.000/12 = Rp15.000.000 dan disetor ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 Desember 2014.
   Apabila sebagaimana dimaksud dalam contoh di atas jumlah peredaran bruto bulan November 2014 (saat mulai beroperasi secara komersial) Rp300.000.000 dan biaya-biaya fiskal sebesar Rp200.000.000
    
Jumlah peredaran bruto setahun adalah: 12 x Rp 300.000.000 = Rp 3.600.000.000 (masih dibawah Rp4.800.000.000,00). Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan November 2014 tetap berdasarkan tarif umum Undang-Undang PPh seperti contoh PT Andalan di atas.

Contoh II :
2) Tn. Bejo (subjek pajak dalam negeri) statusnya menikah dan mempunyai 3 orang anak, tinggal di Jakarta. Pada bulan Juli 2014 memulai usaha bengkel mobil "Lari Cepat". Jumlah penghasilan selama bulan Juli 2014 sebesar Rp500.000.000 Biaya – biaya yang dikeluarkan pada bulan Juli 2014 sebesar Rp450.000.000 Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014?
     Jawaban:
     Peraturan yang terkait adalah PMK No. 107/PMK.11/2013 pasal 2 dan pasal 3. Wajib Pajak baru terdaftar bulan Juli 2014 (setelah berlakunya PP 46 tahun 2013 dan PMK 107/PMK.011/2013), maka pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
     Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 500.000.000 = Rp 6.000.000.000
Karena peredaran bruto yang disetahunkan sudah melebihi
 Rp 4.800.000.000 maka penghitungan pajak penghasilan dihitung menggunakan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2014 adalah:
Peredaran Usaha bulan Juli 2015                          Rp   500.000.000
Biaya-biaya fiskal                                                   Rp    450.000.000
 (-)
Penghasilan Neto Fiskal sebulan                           Rp      
50.000.000
Penghasilan Neto Fiskal setahun                           Rp   600.000.000
PTKP : K/3                                                              Rp     32.400.000
Penghasilan Kena Pajak setahun                           Rp   567.600.000
PPh Wajib Pajak Orang Pribadi terutang:
5%   x Rp   
50.000.000              = Rp      2.500.000
15% x Rp 200.000.000              = Rp    30.000.000
25% x Rp 250.000.000              = Rp    62.500.000
30% x Rp 
  67.600.000              Rp    20.280.000
           Rp 567.600.000              
= Rp  115.280.000
     Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli 2015 adalah : Rp115.2800.000/ 12 = Rp9.606.666 dan paling lambat disetor ke Kas Negara tanggal 15 Agustus 2014.


Contoh III :
3) Tn. Kanai (subjek pajak dalam negeri) memulai usaha restoran "Enak Lezat" pada bulan Agustus 2014. Peredaran usaha bulan Agustus Rp300.000.000 Berdasarkan pembukuan, diketahui jumlah biaya-biaya fiskal sebesar Rp250.000.000. Berapa besaran angsuran PPh pasal 25 bulan Agustus 2014?
     Jawaban:
Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp300.000.000 = Rp3.600.000.000
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihi
 Rp4.800.000.000 maka terhadap penghasilan bruto tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1%.
PPh terutang bulan Agustus 2014 adalah: 1% x Rp300.000.000 = Rp3.000.000 dan tidak ada angsuran PPh pasal 25.



2. Perhitungan angsuran PPh pasal 25 bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala

a. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak bank dan sewaguna usaha dengan hak opsi.
     Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 diatur dalam pasal 3 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
     Contoh:
     PT Bank X berdasarkan laporan keuangan triwulan Januari - Maret 2014 diketahui memperolah laba fiskal sebesar Rp5.000.000.000. PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar Rp400.000.000.
Hitunglah jumlah angsuran PPh pasal 25 pada triwulan II (April – Juni 2014).
     Jawaban:
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada triwulan II (April – Juni 2014) didasarkan pada laporan keuangan triwulan terakhir yaitu triwulan I (Januari-Maret 2014).
Diasumsikan bahwa peredaran bruto triwulan I setahun di atas Rp 50.000.000.000 maka terhadap PT Bank X tidak mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.Laba Fiskal yang disetahunkan: 4 x Rp5.000.000.000        = Rp    20.000.000.000
PPh Terutang: 25% x Rp20.000.000.000               = Rp    
  5.000.000.000
Kredit Pajak Pasal 24 tahun 2013                          
Rp         400.000.000 (-)
PPh yang harus dibayar sendiri                             
Rp      4.600.000.000
Angsuran PPh pasal 25 bulan April 2014 : Rp4.600.000.000 / 12 = Rp 383.333.333
     Selanjutnya penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada triwulan III (Juli-September) didasarkan pada laporan keuangan triwulan II (April-Juni).


b. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
     Penghitungannya diatur pada Pasal 4 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu:
o Besarnya Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas).
o Dalam hal Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) belum disahkan, maka besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
     Contoh:
     PT MBA merupakan Badan Usaha Milik Negara berdasarkan Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun 2014 yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham pada bulan Januari 2014 diketahui sbb:
Rencana Peredaran bruto tahun 2014                  Rp       100.000.000.000
Rencana Laba Fiskal tahun 2014 sebesar            Rp 
        10.000.000.000
PPh pasal 22 impor tahun 2013 sebesar              Rp 
             150.000.000
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 sebesar   Rp 
             100.000.000
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar                        Rp 
            400.000.000
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 tahun 2014 adalah :

     Jawab :
Karena peredaran bruto setahun di atas Rp 50.000.000.000 maka terhadap PT MBA tidak mendapat fasilitas pasal 31 E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.
     Rencana Laba Fiskal tahun 2014 Rp 10.000.000.000
PPh Terutang: 25% x Rp. 10.000.000.000 =                          Rp 2.500.000.000
Kredit Pajak :
PPh pasal 22 impor tahun 2013 sebesar            Rp 150.000.000
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 sebesar Rp 100.000.000
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar                      Rp 400.000.000
 (+)
Jumlah Kredit Pajak                                                               Rp 
   650.000.000 (-)
PPh Badan terutang yang harus bayar sendiri                      Rp 1.850.000.000
Angsuran PPh pasal 25 tahun 2014 : Rp1.850.000.000 / 12= Rp. 154.166.666


c. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat Laporan Keuangan berkala.
     Besarnya angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk Wajib Pajak masuk bursa dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala, penghitungannya diatur pada Pasal 5 PMK 208/ PMK.03/ 2009 yaitu sebesar Pajak Penghasilan yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba-rugi fiskal menurut laporan keuangan berkala terakhir yang disetahunkan dikurangi dengan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan Pasal 23 serta Pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri untuk tahun pajak yang lalu, dibagi 12.
     Contoh:
     PT ACI Tbk berdasarkan laporan keuangan berkala bulan Januari - Juni 2014 diketahui sbb:
Peredaran Bruto Januari-Juni 2014                        Rp       60.000.000.000
Laba Fiskal Januari - Juni 2014                              Rp       20.000.000.000
PPh pasal 22 impor tahun 2013                              Rp       
     100.000.000
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013                   Rp              70.000.000
PPh Pasal 24 tahun 2013                                       Rp       
     300.000.000
     Penghitungan angsuran PPh pasal 25 pada bulan setelah penyampaian laporan berkala adalah:
     Peredaran bruto setahun 2 x Rp 50.000.000.000 = Rp 100.000.000.000
Karena peredaran bruto setahun di atas Rp 50.000.000.000 maka terhadap PT ACI tidak mendapat fasilitas pasal 31E Undang-Undang PPh dalam menghitung Pajak Penghasilan terutang.
     Jawab :
Laba Fiskal Januari-Juni 2014               Rp       20.000.000.000
Laba Fiskal tahun 2014 (setahun)         Rp       40.000.000.000
PPh Terutang :
25% x Rp 40.000.000.000,00 =                                             Rp 10.000.000.000
Kredit Pajak:
PPh pasal 22 impor tahun 2013            Rp            100.000.000
PPh pasal 23 dipungut pihak lain 2013 Rp              70.000.000
PPh Pasal 24 tahun 2013 sebesar        Rp             300.000.000
 (+)
Jumlah Kredit Pajak                                                               Rp      470.000.000
 (-)  PPh Badan yang harus bayar sendiri                                   Rp   9.530.000.000
     Angsuran PPh pasal 25 bulan Juli sampai Desember 2014: Rp 9.530.000.000 / 12 = Rp 794.166.666

3. Penghitungan angsuran PPh pasal 25 terhadap Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
     Penghitungannya diatur pada Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009. Besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari jumlah peredaran bruto setiap bulan dari masing-masing tempat usaha tersebut.
     Ketentuan pelaksanaan angsuran PPh pasal 25 untuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Nomor Per-32/PJ/2010 Tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
     Pasal 1 Per 32/PJ/2010 menjelaskan bahwa Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha sebagai Pedagang Pengecer yang mempunyai 1 (satu) atau lebih tempat usaha.
Pedagang Pengecer adalah orang pribadi yang melakukan:
a. penjualan barang baik secara grosir maupun eceran; dan/atau
b. penyerahan jasa, melalui suatu tempat usaha.

    Contoh:
Heri Kurnia merupakan Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha perdagangan mobil bekas yang memiliki 1 (satu) tempat kegiatan usaha dan memulai usahanya pada bulan Juli 2014. Peredaran bruto pada bulan Juli 2014 sebesar Rp350.000.000
     Berapa besar angsuran PPh pasal 25 pada bulan Juli 2014?

    Jawaban:
Heri Kurnia termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu sesuai pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009 karena dikategorikan sebagai Pedagang Pengecer (Pasal 1 Per 32/PJ/2010).

  Dalam hal Wajib Pajak baru terdaftar sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan No.107/PMK.011/2013 tanggal 30 Juli 2013, pengenaan Pajak Penghasilan didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan.
     Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 350.000.000 = Rp 4.200.000.000
Karena peredaran bruto yang disetahunkan belum melebihi Rp 4.800.000.000 maka terhadap penghasilan bruto tahun 2014 dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 1% sesuai PP Nomor 46 tahun 2013.
PPh terutang bulan Juli 2014 adalah: 1% x Rp4.200.000.000 = Rp 42.000.000 dan tidak ada angsuran PPh pasal 25.

   Masih dengan contoh di atas, namun jika peredaran bruto Heri pada bulan Juli 2014 sebesar Rp 500.000.000. Berapa besar angsuran PPh pasal 25 pada bulan Juli 2014?

    Peredaran bruto yang disetahunkan adalah : 12 x Rp 500.000.000 = Rp 6.000.000.000
Karena peredaran bruto yang disetahunkan telah melebihi Rp 4.800.000.000 maka terhadap penghasilan bruto tahun 2014 penghitungan pajak penghasilan dihitung menggunakan tarif pasal 17 Undang-Undang PPh.
Penghitungan angsuran PPh pasal 25 dihitung sesuai Pasal 6 PMK 208/ PMK.03/ 2009 dan Per 32/PJ/2010.

     Angsuran PPh Pasal 25 bulan Juli 2014 = 0,75% x Rp 500.000.000= Rp 3.750.000
     Angsuran tersebut dibayar paling lambat tanggal 15 bulan Agustus 2014.
Angsuran PPh Pasal 25 untuk bulan selanjutnya sampai dengan bulan Desember 2014 adalah 0,75% dikalikan peredaran bruto pada bulan yang bersangkutan.

4. Wajib Pajak Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur
Berdasarkan asumsi kondisi usaha WP ditahun depan sama dengan kondisi usaha tahun sekarang maka dalam menghitung PPh Pasal 25 tahun berikutnya. Bila WP menerima pengghasilan yang tidak teratur dalam tahun sekarang. Penghasilan yang tidak teratur tersebut tidak ikut diperhitungkan dalam menghitung PPh pasal 25 tahun berikutnya. Alasannya adalah penghasilan tidak teratur tersebut dianggap tidak akan terajdi lagi ditahun mendatang.
Yang termasuk dalampenghasilan tidak teratur adalah keuntungan selisih kurs, keuntungan dan pengalihan harta (capital gaint) sepanjang bukan penghasilan dari kegitan usaha pokok, serta penghasilan lainnya yang bersifat insidentil.

Contoh : Perhitungan PPh Tn. Agung tahun 2010 sebagai berikut:
  Karena dalam penghasilan Tn. Agung selama tahun 2010 terdapat penhasilan teratur sebesar Rp. 550.000.000 yang terdiri dari usaha istri netto Rp. 350.000.000,- dan Penghasilan dari Gaji sebesar Rp. 200.000.000, PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pihak pemberi kerja sebesar Rp. 20.932.000,- Penghasilan tidak teratur berupa sewa mobil sebesar Rp. 50.000.000,- PPh Pasal 23 uyang dipotong oleh pihak lain atas sewa Rp. 1000.000,- PPh Pasal 25 yang telah dibayar sebesar RP. 2.000.000 Januari dan Februari 2011 ditambah Periode Maret sampai dengan Desember 2010 per bulan sebesar Rp. 18.000.000,-. Maka besarnya PPh Pasal 29 untuk tahun 2011 dan PPh Pasal 25 untuk tahun 2011 sebagai berikut :

     Jawaban :
      Penghasilan Neto usaha istri                                        Rp       350.000.000
     Penghasilan Neto dari gaji                                            Rp       200.000.000
     Penghasilan Neto dari sewa mobil                                Rp         50.000.000 (+)
     Total Penghasilan Neto                                                 Rp       650.000.000
     Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/1/3) Th 2010           Rp         36.960.000 (-)
     Penghasilan Kena Pajak (PhKP)                                  Rp       602.000.000
     PPh Terutang
     5%             x Rp      50.000.000  = Rp      2.500.000
     15%           x Rp    200.000.000  = Rp    30.000.000
     25%           x Rp    250.000.000  = Rp    62.500.000
     30%           x Rp    102.000.000  = Rp    18.912.000 (+)
            Jumlah PPh Terutang                                         Rp.      113.912.000

     PPh terutang menurut SPT Tahun 2010                      Rp.      113.912.000 
     Kredit pajak
     PPh Pasal 21                              Rp.      20.932.000
     PPh Pasal 23`                             Rp.        1.000.000 (+)
     Jumlah Kredit Pajak                                                    Rp.        21.932.000 (-)
     PPh yang harus dibayar sendiri Th. 2010              Rp.        76.980.000
     Kredit pajak yang dibayar sendiri
     PPh Pasal 25 (Rp. 2.000.000 + 18.000.000,-)           Rp          20.000.000 (-)
     Total Kurang Bayar (Pasal 29)                                   Rp.         56.980.000

Angsuran PPh Pasal 25 untuk Tahun berikutnya (2011):
PPh terutang menurut SPT 1770 Tahun 2010
Dari Penghasilan Teratur                                                   Rp.     98.912.000
Kredit pajak
     PPh Pasal 21                               Rp.      20.932.000
     PPh Pasal 23`                              Rp.        1.000.000 (+)
     Jumlah Kredit Pajak                                                     Rp.      21.932.000 (-)
Dasar Angsuran PPh Pasal 25 tahun 2016                   Rp.      76.980.000
Angsuran PPh Pasal 25 = (1/12 x Rp. 76.980.000)      Rp.        6.415.000


    

Sanksi atas Keterlambatana membayar PPh Pasal 25 :

1. Sanksi Administrasi atas Keterlambatan atau Tidak Menyampaikan SPT
Apabila Wajib Pajak (WP) terlambat menyampaikan SPT, sanksi administrasi
Dikenakan Denda Rp 100.000,- untuk SPT Masa PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, PPh Pasal 25, PPh Pasal 4 (2), PPh Pasal 15).
2. Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Membayar Pajak
Pembayaran/ penyetoran pajak setelah tanggal jatuh tempo pembayaran/ penyetoran pajak (Terlambat bayar) >> akan dikenakan sanksi administrasi >>
Bunga 2% sebulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran (dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan)
Terlambat 1 hari = 1 bulan keterlambatan (dikenakan bunga 2%)

NB: Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.

Contoh ilustrasi Poin 2 (Sanksi Administrasi atas Keterlambatan Membayar Pajak):
Jatuh tempo pembayaran PPh Pasal 25 untuk bulan Mei 2016 adalah Tgl 15 Juni 2015 (bertepatan jatuh pada hari Sabtu), maka tanggal jatuh tempo diundur menjadi Tgl 17 Juni 2013 (hari Senin).
Apabila membayar PPh Pasal 25 pada Tgl 19 Juli 2016 (terlambat 1 bulan 2 hari = 2 bulan keterlambatan), maka akan dikenakan bunga sebesar 2% x 2 bulan = 4%.
Apabila nilai Pajak terutang sebesar Rp 5.000.000
Denda Bunga (4% x Rp 5.000.000) = Rp 200.000
Total yang harus dibayar = Rp 5.200.000.


     Kesimpulan




    Penghitungan besarnya angsuran PPh pasal 25 dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, sewa guna usaha dengan hak opsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi pengusaha tertentu seperti yang diatur pada PMK 208/ PMK.03/ 2009 ternyata masih harus memperhatikan ketentuan yang ada pada PP 46 tahun 2013 dan aturan pelaksanaannya pada PMK 107/PMK.011/2013. Ketentuan tersebut diantaranya adalah: batasan jumlah peredaran bruto setahun atau disetahunkan (Rp4.800.000.000,00), ketentuan mengenai jenis penghasilannya (apakah penghasilannya berasal dari pekerjaan bebas atau tidak); kapan penghasilan tersebut diperoleh; ketentuan apakah dikenai tarif umum Pajak Penghasilan, atau tarif khusus Pajak Penghasilan atau dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.

Ads Inside Post