Penulis Blog : Asep Supriyatna, S.E.
ANALISIS IMPLEMENTASI PSAK 13 (PASCA
ADOPSI IFRS)
Disusun
oleh :
Asep Supriyatna 1611070114
INSTITUE KEUANGAN PERBANKAN DAN INFORMATIKA ASIA PERBANAS
TAHUN 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi
telah menciptakan suatu sistem keuangan dan pasar modal internasional sehingga meningkatkan investasi asing.
Dengan adanya kondisi tersebut
maka penting untuk menyeragamkan standar akuntansi dan laporan keuangan sehingga dapat digunakan untuk membandingkan
kinerja keuangan antar
negara (Spies dan Wilhelm, 2005). International Financial Reporting Standard
(IFRS) menjawab masalah keseragaman
standar akuntansi dan pelaporan keuangan. Manfaat IFRS adalah untuk meningkatkan daya banding
laporan keuangan, memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional, menghilangkan
hambatan arus modal internasional
dengan mengurangi perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan, mengurangi biaya pelaporan
keuangan bagi perusahaan multinasional dan biaya untuk analisis keuangan bagi para analis serta
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Salah satu tujuan utama
adopsi IFRS adalah untuk meningkatkan komparabilitas internasional dari laporan keuangan
(Cairns et al., 2011).
Prinsip atau standar
akuntansi yang secara umum dipakai di Indonesia tersebut lebih dikenal dengan
nama Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK disusun dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan
Indonesia. Ikatan Akuntan Indonesia adalah organisasi profesi akuntan yang ada
di Indonesia. Seiring dengan perkembangan bisnis dalam skala nasional dan
internasional, Ikatan Akuntansi Indonesia telah mencanangkan dilaksanakannya
program konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) yang
mulai diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2012. Ketua Dewan Standar
Akuntansi Keuangan menyatakan dampak dari konvergensi IFRS ini yaitu relevansi
laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar.
Salah satu penggunaan nilai wajar yang diadopsi oleh Ikatan Akuntan Indonesia
yaitu mengenai properti investasi yang diatur dalam PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS). Berbeda dengan PSAK 13 (1994) yang tidak mengizinkan menggunakan metode
nilai wajar dalam mengukur properti investasi, PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) yang
mulai efektif diberlakukan pada 1 Januari 2008 ini memberikan dua alternatif
pengukuran properti investasi yaitu dengan menggunakan model biaya dan model
nilai wajar yang harus diterapkan secara konsisten.
Penggunaan nilai wajar
dianggap memberikan informasi yang lebih relevan dalam pengambilan keputusan.
Akibat dari adanya revaluasi aset menyebabkan nilai aset tersebut bisa naik
maupun turun. Selisih yang timbul akibat dari revaluasi aset yang mengalami
kenaikan nilai aset diakui sebagai surplus revaluasi yang merupakan keuntungan
bagi perusahaan, keuntungan yang diperoleh diakui di laporan laba rugi,
sehingga dapat menambah laba bagi perusahaan. Sedangkan selisih penurunan
revaluasi aset merupakan kerugian bagi perusahaan tersebut. Penurunan nilai
aset diakui sebagai rugi, sehingga kerugian dari penurunan nilai aset dapat
mengurangi laba yang diperoleh.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam
latar belakang maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah
terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
2. Apakah
terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah total aset sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
3. Apakah
terdapat perbedaan yang signifikan pada laba perusahaan sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
4. Bagaimana
perlakuan akuntansi properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS).
1.3 Metode penelitian
Dalam penelitian ini populasi
yang digunakan oleh kami dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007 – 2009. Untuk menentukan sampel
digunakan metode purposive sampling. Berdasarkan populasi yang diambil penulis,
berikut adalah kriteria pengambilan sampel yang digunakan penulis :
1.
Sampel yang diambil adalah sampel yang sesuai dengan judul penelitian, yaitu
laporan keuangan yang belum menggunakan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) pada tahun
2007 dan laporan keuangan yang sudah menggunakan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
pada tahun 2009.
2. Laporan
keuangan yang sudah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) pada tahun 2009
menilai properti investasi dengan model nilai wajar.
3.
Tidak ada penambahan nilai properti investasi yang disebabkan oleh pembelian
aset selama tahun 2007-2009. Hal ini untuk mengontrol bahwa kenaikan nilai
properti investasi adalah disebabkan oleh perubahan nilai wajar.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan No. 13 tentang Properti Investasi
Di dalam International
Financial Reporting Standards (IFRS) properti investasi diatur dan diungkapkan
dalam IAS 40 tentang investment property. Kemudian IAS 40 tersebut diadopsi ke
dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.13 (PSAK 13) tentang properti
investasi yang direvisi pada tahun 2007 dan disahkan oleh Dewan Standar
Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI). Sebelum menerapkan PSAK
13 (pasca adopsi IFRS), Indonesia menggunakan PSAK 13 tentang akuntansi untuk
investasi yang dikeluarkan oleh DSAK sejak 7 September 1994. Dalam PSAK 13 (1994)
investasi diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu investasi lancar dan
investasi jangka panjang. Tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas mengenai
properti investasi karena PSAK 13 (1994) mengatur akuntansi untuk investasi
secara umum dan properti investasi termasuk di dalamnya. PSAK 13 (1994) tidak
mengizinkan penggunaan model nilai wajar dalam pengukuran properti investasi
sehingga pengukuran dilakukan dengan model biaya. Sementara pada PSAK 13 (pasca
adopsi IFRS) yang direvisi pada tahun 2007 dan berlaku efektif untuk penyusunan
laporan keuangan untuk periode yang dimulai atau setelah 1 Januari 2008,
properti investasi sudah diatur secara khusus. PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
membedakan antara properti investasi dan properti yang digunakan sendiri.
Properti yang digunakan sendiri (owner occupied property) adalah properti yang
dikuasai (oleh pemilik atau lessee melalui sewa pembiayaan) untuk digunakan
dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan
administratif. Properti investasi dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk
mendapatkan kenaikan nilai atau keduanya. Dengan demikian properti investasi
dapat menghasilkan kas secara mandiri tanpa tergantung dengan aset lain yang
dikuasai entitas. Hal ini yang membedakan properti investasi dengan properti
yang digunakan sendiri. Properti yang digunakan sendiri menghasilkan kas dengan
besinergi dengan aset lain. Misalnya, tanah, bangunan, peralatan dan persediaan
digunakan secara bersama-sama untuk menghasilkan produk untuk dijual.
Pengertian
Nilai Wajar (Fair Value)
Menurut Ikatan Akuntan
Indonesia (2009:13.1), nilai wajar adalah suatu jumlah yang digunakan untuk
mengukur aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu transaksi yang wajar
(arm’s length transaction) yang melibatkan pihak-pihak yang berkeinginan dan
memiliki pengetahuan memadai. Nilai wajar (fair value) dari suatu aset dapat
ditentukan sesuai dengan nilai pasar. Karena di dalam IFRS banyak menggunakan
basis mark-to-market sebagai dasar penilaian. Apabila tidak terdapat nilai
pasar yang dapat dijadikan nilai wajar maka dasar penilaian dapat menggunakan
basis mark-to-model atau dengan menggunakan teknik dengan bantuan jasa penilai
independen. Sedangkan menurut Greuning yang diterjemahkan oleh Tanujaya
(2005:295) nilai wajar adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar
pertukaran aset atau penyelesaian kewajiban antara pihak-pihak yang paham
(knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi yang wajar (arm’s
length transaction). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa nilai wajar
yaitu suatu jumlah yang dapat digunakan untuk mengukur aset yang bisa
dipertukarkan melalui transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang berkeinginan
dan yang memahami.
Keunggulan
nilai wajar (fair value) antara lain
:
1. Laporan
keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan keputusan
2.
Meningkatkan keterbandingan laporan keuangan.
3.
Informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan keuangan.
Di Indonesia pada
praktiknya data pasar resmi belum tersedia secara memadai. Sehingga penggunaan
basis nilai wajar sebagai basis penilaian akan banyak menggunakan basis
mark-to-model atau dengan menggunakan teknik bantuan jasa penilai independen.
2.2 Pengaruh
Implementasi PSAK 13 Sebelum dan Setelah Adopsi IFRS terhadap Laba Perusahaan
Dalam PSAK 13 (1994) suatu
entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya dan tidak diperkenankan
menggunakan model nilai wajar. Properti investasi dicatat sebesar biaya
perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan
nilai aset. Perusahaan melakukan perhitungan depresiasi atas aset yang
bersangkutan selama masa manfaatnya. Depresiasi itulah yang akan menjadi beban
tiap periode dimana perusahaan menggunakan properti investasi. Depresiasi yang
dihitung oleh perusahaan pada tiap periode akan diakumulasikan (dikumpulkan)
dalam akun khusus yang disebut dengan akumulasi depresiasi.
Jadi akumulasi depresiasi
dapat dikatakan sebagai bagian dari nilai aset tetap yang sudah memberikan
aliran manfaat ekonomis dan tidak lagi bisa memberikan tambahan aliran manfaat
ekonomis. Beban dari depresiasi akan dilaporkan sebagai beban operasi dalam
laporan laba rugi. Akumulasi depresiasi akan dilaporkan di dalam neraca,
sebagai pengurang nilai perolehan aset tetap. Nilai perolehan aset tetap
dikurangi dengan akumulasi depresiasinya merupakan nilai buku dari aset tetap
tersebut. Perhitungan depresiasi yang berhubungan dengan beban operasi
perusahaan membuat perlakuan terhadap depresiasi berimplikasi langsung dalam
perhitungan laba atau rugi perusahaan. Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS) perusahaan berhak memilih model biaya atau model nilai wajar untuk
menilai suatu aset properti investasi. Dengan penggunaan nilai wajar maka
perusahaan akan mendapatkan nilai yang realistis dari sebuah aset properti investasi
mereka, selisih yang terjadi dari penilaian metode nilai wajar tersebut baik
surplus ataupun defisit akan diakui sebagai pendapatan / beban lain – lain
perusahaan, seperti yang juga dinyatakan oleh PSAK 13 (2007) bahwa laba atau
rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar atas properti investasi harus
diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.
Properti investasi yang
diukur menggunakan nilai wajar tidak perlu disusutkan, karena entitas selalu
menyajikan nilai wajarnya setiap tanggal akhir periode pelaporan keuangan,
sehingga penyusutan yang dilakukan tidak akan memberikan pengaruh apa pun
terhadap nilai yang akan disajikan di laporan keuangan. Berbagai penelitian
tentang IFRS telah banyak dilakukan, namun fokus penelitian tentang adopsi IFRS
pada PSAK 13 tentang properti investasi di Indonesia dapat dikatakan masih
terbatas. Penelitian Ilham (2010) menyatakan bahwa penerapan PSAK 13 (pasca
adopsi IFRS) tentang properti investasi yang mengizinkan perusahaan menggunakan
nilai wajar pada penilaian properti investasi berdampak signifikan terhadap
laba perusahaan.
BAB III
ANALISIS
3.1 Analisis
Salah satu adopsi yang
dilakukan oleh Indonesia terhadap IFRS yaitu tentang Investment Property (IAS
40) dengan merevisi PSAK 13 pada tahun 2007. PSAK 13 (revisi 2007) memberikan
dua alternatif pengukuran properti investasi, yaitu dengan menggunakan model
biaya dan model nilai wajar yang harus diterapkan oleh secara konsisten.
Sebelum pengadopsian IFRS, PSAK 13 (1994) yang diterapkan di Indonesia hanya
mengizinkan penilaian properti investasi dengan model biaya. Model biaya yang
dimaksud di sini adalah model biaya yang sama dengan yang diatur dalam standar
akuntansi untuk aset tetap (PSAK No. 16 tentang Aset Tetap). Penerapan model
biaya mensyaratkan entitas menyajikan properti investasi pada biaya perolehan
dikurangi akumulasi depresiasi. Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
perusahaan dapat memilih menggunakan model biaya atau model nilai wajar Jika
perusahaan memilih pengukuran menggunakan nilai wajar, maka untuk setiap
tanggal neraca, perusahaan harus menghitung nilai wajar dari properti
investasi. Dengan penggunaan nilai wajar tersebut maka perusahaan akan
mendapatkan nilai yang realistis dari sebuah aset properti investasi mereka,
selisih yang terjadi dari penilaian metode nilai wajar tersebut baik surplus
ataupun defisit akan diakui sebagai pendapatan / beban lain – lain perusahaan,
hal ini tercermin pernyataan pada pada PSAK 13 revisi 2007 par. 38 bahwa :
“Laba atau rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar atas properti investasi
harus diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.” Dari penjelasan
dan konsep yang telah dijelaskan diatas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai
berikut:
1.
Setelah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan diperbolehkan
menggunakan model nilai wajar untuk menilai properti investasi. Sementara PSAK
13 (1994) hanya memperbolehkan model biaya untuk menilai properti investasi.
Maka analisinya adalah:
A1 = Ada perbedaan
signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK
13 (pasca adopsi IFRS).
2.
Setelah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), naik dan turunnya nilai properti
investasi akibat penerapan model nilai wajar oleh perusahaan akan berpengaruh
terhadap jumlah total aset. Maka hipotesisnya adalah:
A2 = Ada perbedaan
signifikan antara total aset perusahaan sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13
(pasca adopsi IFRS).
3.
Dalam PSAK 13 (1994) oerusahaan mencatat properti investasi sebesar biaya
perolehan dikurangi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan aset. Depresiasi
tersebut akan menjadi beban tiap periode dimana perusahaan menggunakan properti
investasi. Perhitungan depresiasi yang berhubungan dengan beban operasi
perusahaan akan berimplikasi langsung terhadap perhitungan laba atau rugi
perusahaan. Sementara penerapan PSAK 13(pasca adopsi IFRS) yang membolehkan
penggunaan nilai wajar dalam menilai properti investasi menyebabkan nilai aset
tersebut bisa naik maupun turun. Selisih yang timbul akibat revaluasi aset akan
diakui di laporan labarugi perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka
hipotesisnya adalah:
A3 = Ada perbedaan
signifikan antara laba sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS).
Kerangka pemikiran anaisis ini akan dideskripsikan pada gambar
berikut:
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan
atas implementasi PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) mengenai properti investasi dan
pengaruhnya terhadap laba perusahaan, maka kami mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Terdapat perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan
sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi.
2.
Terdapat perbedaan signifikan antara jumlah total aset sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi
3.
Terdapat perbedaan signifikan antara laba perusahaan sebelum dan sesudah
penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi.
4.
Perbedaan perlakuan akuntansi properti investasi sebelum dan sesudah penerapan
PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) adalah sebelum penerapan PSAK 13 (pasca adopsi
IFRS) perusahaan tidak diperbolehkan menilai properti investasi dengan model
nilai wajar sementara setelah penerapan perusahaan dapat memilih menggunakan
model biaya atau model nilai wajar yang akan diterapkan secara konsisten.
4.2
Saran
Dari kesimpulan yang diberikan,
penulis memberikan beberapa saran yang mungkin bisa dipertimbangkan bagi
pembaca yang akan melakukan penelitian selanjutnya mengenai implementasi PSAK
13 (pasca adopsi IFRS) dan penerapan nilai wajar agar penelitian memperoleh
hasil yang lebih baik antara lain :
1.
Penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah sampel penelitian untuk
mendapatkan hasil yang lebih akurat secara statistik.
2.
Penelitian selanjutnya dapat meneliti dampak penerapan nilai wajar terhadap
aspek lain dalam perusahaan selain laba rugi perusahaan.
gaggia titanium - Titanium Rocks - The Art of Geckology
ReplyDeleteGaggia Titanium rocks are titanium keychain a part of titanium engagement rings the ancient Greek titanium i phone case rock-making process known as the "Grizzatonic" (see the titanium exhaust wrap rock formations) which titanium wedding ring is the $13.00