Sunday, January 22, 2017

ANALISIS IMPLEMENTASI PSAK 13 (PASCA ADOPSI IFRS)


Penulis Blog : Asep Supriyatna, S.E.


ANALISIS IMPLEMENTASI PSAK 13 (PASCA ADOPSI IFRS)







Disusun oleh :

Asep Supriyatna   1611070114




INSTITUE KEUANGAN PERBANKAN DAN INFORMATIKA ASIA PERBANAS TAHUN 2016






BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Globalisasi telah menciptakan suatu sistem keuangan dan pasar modal internasional   sehingga meningkatkan investasi asing. Dengan adanya kondisi tersebut maka penting untuk menyeragamkan standar akuntansi   dan laporan keuangan sehingga dapat digunakan untuk membandingkan kinerja keuangan antar negara (Spies dan Wilhelm, 2005). International Financial Reporting Standard (IFRS) menjawab masalah keseragaman standar akuntansi dan pelaporan keuangan. Manfaat IFRS adalah untuk meningkatkan daya banding laporan keuangan, memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional, menghilangkan hambatan arus modal internasional dengan mengurangi perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan, mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan multinasional dan biaya untuk analisis keuangan bagi para analis serta meningkatkan kualitas pelaporan keuangan. Salah satu tujuan utama adopsi IFRS adalah untuk meningkatkan komparabilitas internasional dari laporan keuangan (Cairns et al., 2011).
Prinsip atau standar akuntansi yang secara umum dipakai di Indonesia tersebut lebih dikenal dengan nama Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK). PSAK disusun dan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Ikatan Akuntan Indonesia adalah organisasi profesi akuntan yang ada di Indonesia. Seiring dengan perkembangan bisnis dalam skala nasional dan internasional, Ikatan Akuntansi Indonesia telah mencanangkan dilaksanakannya program konvergensi International Financial Reporting Standards (IFRS) yang mulai diberlakukan secara penuh pada 1 Januari 2012. Ketua Dewan Standar Akuntansi Keuangan menyatakan dampak dari konvergensi IFRS ini yaitu relevansi laporan keuangan akan meningkat karena lebih banyak menggunakan nilai wajar. Salah satu penggunaan nilai wajar yang diadopsi oleh Ikatan Akuntan Indonesia yaitu mengenai properti investasi yang diatur dalam PSAK 13 (pasca adopsi IFRS). Berbeda dengan PSAK 13 (1994) yang tidak mengizinkan menggunakan metode nilai wajar dalam mengukur properti investasi, PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) yang mulai efektif diberlakukan pada 1 Januari 2008 ini memberikan dua alternatif pengukuran properti investasi yaitu dengan menggunakan model biaya dan model nilai wajar yang harus diterapkan secara konsisten.
Penggunaan nilai wajar dianggap memberikan informasi yang lebih relevan dalam pengambilan keputusan. Akibat dari adanya revaluasi aset menyebabkan nilai aset tersebut bisa naik maupun turun. Selisih yang timbul akibat dari revaluasi aset yang mengalami kenaikan nilai aset diakui sebagai surplus revaluasi yang merupakan keuntungan bagi perusahaan, keuntungan yang diperoleh diakui di laporan laba rugi, sehingga dapat menambah laba bagi perusahaan. Sedangkan selisih penurunan revaluasi aset merupakan kerugian bagi perusahaan tersebut. Penurunan nilai aset diakui sebagai rugi, sehingga kerugian dari penurunan nilai aset dapat mengurangi laba yang diperoleh.
1.2 Rumusan masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
2. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada jumlah total aset sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada laba perusahaan sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS)
4. Bagaimana perlakuan akuntansi properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
1.3 Metode penelitian
Dalam penelitian ini populasi yang digunakan oleh kami dalam penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2007 – 2009. Untuk menentukan sampel digunakan metode purposive sampling. Berdasarkan populasi yang diambil penulis, berikut adalah kriteria pengambilan sampel yang digunakan penulis :
1. Sampel yang diambil adalah sampel yang sesuai dengan judul penelitian, yaitu laporan keuangan yang belum menggunakan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) pada tahun 2007 dan laporan keuangan yang sudah menggunakan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) pada tahun 2009.
2. Laporan keuangan yang sudah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) pada tahun 2009 menilai properti investasi dengan model nilai wajar.
3. Tidak ada penambahan nilai properti investasi yang disebabkan oleh pembelian aset selama tahun 2007-2009. Hal ini untuk mengontrol bahwa kenaikan nilai properti investasi adalah disebabkan oleh perubahan nilai wajar.



BAB II
LANDASAN TEORI


2.1 Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 13 tentang Properti Investasi
Di dalam International Financial Reporting Standards (IFRS) properti investasi diatur dan diungkapkan dalam IAS 40 tentang investment property. Kemudian IAS 40 tersebut diadopsi ke dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No.13 (PSAK 13) tentang properti investasi yang direvisi pada tahun 2007 dan disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI). Sebelum menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), Indonesia menggunakan PSAK 13 tentang akuntansi untuk investasi yang dikeluarkan oleh DSAK sejak 7 September 1994. Dalam PSAK 13 (1994) investasi diklasifikasikan kedalam dua kelompok, yaitu investasi lancar dan investasi jangka panjang. Tidak ada pengaturan secara khusus dan tegas mengenai properti investasi karena PSAK 13 (1994) mengatur akuntansi untuk investasi secara umum dan properti investasi termasuk di dalamnya. PSAK 13 (1994) tidak mengizinkan penggunaan model nilai wajar dalam pengukuran properti investasi sehingga pengukuran dilakukan dengan model biaya. Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) yang direvisi pada tahun 2007 dan berlaku efektif untuk penyusunan laporan keuangan untuk periode yang dimulai atau setelah 1 Januari 2008, properti investasi sudah diatur secara khusus. PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) membedakan antara properti investasi dan properti yang digunakan sendiri. Properti yang digunakan sendiri (owner occupied property) adalah properti yang dikuasai (oleh pemilik atau lessee melalui sewa pembiayaan) untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif. Properti investasi dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk mendapatkan kenaikan nilai atau keduanya. Dengan demikian properti investasi dapat menghasilkan kas secara mandiri tanpa tergantung dengan aset lain yang dikuasai entitas. Hal ini yang membedakan properti investasi dengan properti yang digunakan sendiri. Properti yang digunakan sendiri menghasilkan kas dengan besinergi dengan aset lain. Misalnya, tanah, bangunan, peralatan dan persediaan digunakan secara bersama-sama untuk menghasilkan produk untuk dijual.
Pengertian Nilai Wajar (Fair Value)
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2009:13.1), nilai wajar adalah suatu jumlah yang digunakan untuk mengukur aset yang dapat dipertukarkan melalui suatu transaksi yang wajar (arm’s length transaction) yang melibatkan pihak-pihak yang berkeinginan dan memiliki pengetahuan memadai. Nilai wajar (fair value) dari suatu aset dapat ditentukan sesuai dengan nilai pasar. Karena di dalam IFRS banyak menggunakan basis mark-to-market sebagai dasar penilaian. Apabila tidak terdapat nilai pasar yang dapat dijadikan nilai wajar maka dasar penilaian dapat menggunakan basis mark-to-model atau dengan menggunakan teknik dengan bantuan jasa penilai independen. Sedangkan menurut Greuning yang diterjemahkan oleh Tanujaya (2005:295) nilai wajar adalah suatu jumlah yang dapat digunakan sebagai dasar pertukaran aset atau penyelesaian kewajiban antara pihak-pihak yang paham (knowledgeable) dan berkeinginan untuk melakukan transaksi yang wajar (arm’s length transaction). Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa nilai wajar yaitu suatu jumlah yang dapat digunakan untuk mengukur aset yang bisa dipertukarkan melalui transaksi yang wajar antara pihak-pihak yang berkeinginan dan yang memahami.



Keunggulan nilai wajar (fair value) antara lain :
1. Laporan keuangan menjadi lebih relevan untuk dasar pengambilan keputusan
2. Meningkatkan keterbandingan laporan keuangan.
3. Informasi lebih dekat dengan apa yang diinginkan oleh pemakai laporan keuangan.
Di Indonesia pada praktiknya data pasar resmi belum tersedia secara memadai. Sehingga penggunaan basis nilai wajar sebagai basis penilaian akan banyak menggunakan basis mark-to-model atau dengan menggunakan teknik bantuan jasa penilai independen.

2.2 Pengaruh Implementasi PSAK 13 Sebelum dan Setelah Adopsi IFRS terhadap Laba Perusahaan
Dalam PSAK 13 (1994) suatu entitas hanya diperkenankan menggunakan model biaya dan tidak diperkenankan menggunakan model nilai wajar. Properti investasi dicatat sebesar biaya perolehan dikurangi dengan akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai aset. Perusahaan melakukan perhitungan depresiasi atas aset yang bersangkutan selama masa manfaatnya. Depresiasi itulah yang akan menjadi beban tiap periode dimana perusahaan menggunakan properti investasi. Depresiasi yang dihitung oleh perusahaan pada tiap periode akan diakumulasikan (dikumpulkan) dalam akun khusus yang disebut dengan akumulasi depresiasi.
Jadi akumulasi depresiasi dapat dikatakan sebagai bagian dari nilai aset tetap yang sudah memberikan aliran manfaat ekonomis dan tidak lagi bisa memberikan tambahan aliran manfaat ekonomis. Beban dari depresiasi akan dilaporkan sebagai beban operasi dalam laporan laba rugi. Akumulasi depresiasi akan dilaporkan di dalam neraca, sebagai pengurang nilai perolehan aset tetap. Nilai perolehan aset tetap dikurangi dengan akumulasi depresiasinya merupakan nilai buku dari aset tetap tersebut. Perhitungan depresiasi yang berhubungan dengan beban operasi perusahaan membuat perlakuan terhadap depresiasi berimplikasi langsung dalam perhitungan laba atau rugi perusahaan. Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan berhak memilih model biaya atau model nilai wajar untuk menilai suatu aset properti investasi. Dengan penggunaan nilai wajar maka perusahaan akan mendapatkan nilai yang realistis dari sebuah aset properti investasi mereka, selisih yang terjadi dari penilaian metode nilai wajar tersebut baik surplus ataupun defisit akan diakui sebagai pendapatan / beban lain – lain perusahaan, seperti yang juga dinyatakan oleh PSAK 13 (2007) bahwa laba atau rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar atas properti investasi harus diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.
Properti investasi yang diukur menggunakan nilai wajar tidak perlu disusutkan, karena entitas selalu menyajikan nilai wajarnya setiap tanggal akhir periode pelaporan keuangan, sehingga penyusutan yang dilakukan tidak akan memberikan pengaruh apa pun terhadap nilai yang akan disajikan di laporan keuangan. Berbagai penelitian tentang IFRS telah banyak dilakukan, namun fokus penelitian tentang adopsi IFRS pada PSAK 13 tentang properti investasi di Indonesia dapat dikatakan masih terbatas. Penelitian Ilham (2010) menyatakan bahwa penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi yang mengizinkan perusahaan menggunakan nilai wajar pada penilaian properti investasi berdampak signifikan terhadap laba perusahaan.




BAB III
ANALISIS


3.1 Analisis
Salah satu adopsi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap IFRS yaitu tentang Investment Property (IAS 40) dengan merevisi PSAK 13 pada tahun 2007. PSAK 13 (revisi 2007) memberikan dua alternatif pengukuran properti investasi, yaitu dengan menggunakan model biaya dan model nilai wajar yang harus diterapkan oleh secara konsisten. Sebelum pengadopsian IFRS, PSAK 13 (1994) yang diterapkan di Indonesia hanya mengizinkan penilaian properti investasi dengan model biaya. Model biaya yang dimaksud di sini adalah model biaya yang sama dengan yang diatur dalam standar akuntansi untuk aset tetap (PSAK No. 16 tentang Aset Tetap). Penerapan model biaya mensyaratkan entitas menyajikan properti investasi pada biaya perolehan dikurangi akumulasi depresiasi. Sementara pada PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan dapat memilih menggunakan model biaya atau model nilai wajar Jika perusahaan memilih pengukuran menggunakan nilai wajar, maka untuk setiap tanggal neraca, perusahaan harus menghitung nilai wajar dari properti investasi. Dengan penggunaan nilai wajar tersebut maka perusahaan akan mendapatkan nilai yang realistis dari sebuah aset properti investasi mereka, selisih yang terjadi dari penilaian metode nilai wajar tersebut baik surplus ataupun defisit akan diakui sebagai pendapatan / beban lain – lain perusahaan, hal ini tercermin pernyataan pada pada PSAK 13 revisi 2007 par. 38 bahwa : “Laba atau rugi yang timbul dari perubahan nilai wajar atas properti investasi harus diakui dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.” Dari penjelasan dan konsep yang telah dijelaskan diatas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Setelah menerapkan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan diperbolehkan menggunakan model nilai wajar untuk menilai properti investasi. Sementara PSAK 13 (1994) hanya memperbolehkan model biaya untuk menilai properti investasi.
Maka analisinya adalah:
A1 = Ada perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
2. Setelah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS), naik dan turunnya nilai properti investasi akibat penerapan model nilai wajar oleh perusahaan akan berpengaruh terhadap jumlah total aset. Maka hipotesisnya adalah:
A2 = Ada perbedaan signifikan antara total aset perusahaan sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).
3. Dalam PSAK 13 (1994) oerusahaan mencatat properti investasi sebesar biaya perolehan dikurangi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan aset. Depresiasi tersebut akan menjadi beban tiap periode dimana perusahaan menggunakan properti investasi. Perhitungan depresiasi yang berhubungan dengan beban operasi perusahaan akan berimplikasi langsung terhadap perhitungan laba atau rugi perusahaan. Sementara penerapan PSAK 13(pasca adopsi IFRS) yang membolehkan penggunaan nilai wajar dalam menilai properti investasi menyebabkan nilai aset tersebut bisa naik maupun turun. Selisih yang timbul akibat revaluasi aset akan diakui di laporan labarugi perusahaan. Berdasarkan penjelasan tersebut maka hipotesisnya adalah:
A3 = Ada perbedaan signifikan antara laba sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS).

Kerangka pemikiran anaisis ini akan dideskripsikan pada gambar berikut:
                                            




BAB IV
PENUTUP


4.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan atas implementasi PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) mengenai properti investasi dan pengaruhnya terhadap laba perusahaan, maka kami mengambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan signifikan antara nilai properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi.
2. Terdapat perbedaan signifikan antara jumlah total aset sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi
3. Terdapat perbedaan signifikan antara laba perusahaan sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) tentang properti investasi.
4. Perbedaan perlakuan akuntansi properti investasi sebelum dan sesudah penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) adalah sebelum penerapan PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) perusahaan tidak diperbolehkan menilai properti investasi dengan model nilai wajar sementara setelah penerapan perusahaan dapat memilih menggunakan model biaya atau model nilai wajar yang akan diterapkan secara konsisten.
4.2 Saran
Dari kesimpulan yang diberikan, penulis memberikan beberapa saran yang mungkin bisa dipertimbangkan bagi pembaca yang akan melakukan penelitian selanjutnya mengenai implementasi PSAK 13 (pasca adopsi IFRS) dan penerapan nilai wajar agar penelitian memperoleh hasil yang lebih baik antara lain :
1. Penelitian selanjutnya dapat menambah jumlah sampel penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat secara statistik.
2. Penelitian selanjutnya dapat meneliti dampak penerapan nilai wajar terhadap aspek lain dalam perusahaan selain laba rugi perusahaan.


1 comment:

  1. gaggia titanium - Titanium Rocks - The Art of Geckology
    Gaggia Titanium rocks are titanium keychain a part of titanium engagement rings the ancient Greek titanium i phone case rock-making process known as the "Grizzatonic" (see the titanium exhaust wrap rock formations) which titanium wedding ring is the $13.00

    ReplyDelete

Ads Inside Post